Laman

Jumat, 17 Juni 2011

MTs 45 WIRADESA; ZIG-ZAG KISAHKU SERI KE-2


Sumber: Dokumen Pribadi
Pak Ustadz M. Mu’isy Bahruddin mendidik dan mengajarkan Bahasa Arab aku dan kawank-kawanku. Dari beliau aku mengenal sikap percaya diri. Beliau menguraikan pepatah al-I’timaadu ‘alan nafsi asaasunnajaahi. Arti bebasnya, percaya diri pangkal kesuksesan. Begitu teringat diriku dengan pepatah itu dan terus ku gunakan untuk memompa kepercayaan diriku.
Pak Mustofa, iya satu yang ku ingat yaitu saat beliau memujiku sebagai siswa yang cerdas karena berhasil menjawab pertanyaan lisan berupa bentuk kata perintah “sebutkan” dengan menjawab tiga jawaban dan yang keempat adalah “dan lain-lain.” Bagiku ini prinsip menjawab soal tulis dan lisan apabila menanyakan jawaban dari pertanyaan “sebutkan” tanpa memerinci jumlah yang diminta dari pertanyaan yang diajukan maka jawabannya jangan banyak-banyak, maksimal tiga saja. Jawaban seperti itu sudah betul.
Abahku Pak Aziz, adalah guru Fiqih. Satu yang kubanggakan adalah aku tidak pernah dibocorkan soal ulangan harian oleh abahku. Ini yang aku salut meskipun untuk membocorkan soal harian sangat besar. Beliau mengajar kami dengan jelas dan mudah dipaham. Walaupun demikian nilai Fiqihku alhamdulillah tidak pernah merah alias selalu baik. Dari beliau ku dikenalkan dengan pekerjaan mengoreksi. Bagianku mengoreksi pertanyaan pilihan a, b, c, d. Kertas untuk mengoreksi diambilkan dari lembar soal yang dilubangi dengan obat nyamuk di jawaban yang benar. Dipaskan dengan lembar jawab kawan-kawan. Kemudian dihitung jawaban yang benar lalu dikalikan dua. Untuk mengoreksi pertanyaan uraian jelas itu bagian abahku, aku hanya diberitahu bahwa skor tiap nomor yang benar adalah 4, skor ada jawaban tapi salah adalah 1. Kenapa 1? untuk untuk jerih menulis kata beliau. Kalau dikosongi maka 0. Hehehe…itu yang kupraktikkan setiap kali aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan ulangan dalam bentuk uraian maka daripada dapat skor 0 lebih baik mengarang jawaban daripada mencontek dan meraih skor 1, syukur-syukur jawaban ngarang itu nyrempet-nyrempet dan meraih skor 2 atau 3.
Peristiwa yang tak terlupakan terjadi saat aku duduk di kelas 1. Saat aku maju ke depan untuk menuliskan namaku di hari yang aku ingin piket di kelas 1 B. Ya saat itu wali kelasku menerapkan model pemilihan hari secara langsung untuk hari piket yang diinginkan setiap peserta didik. Awalnya berjalan lancar, kawan-kawan tertib maju ke depan mengambil kapur dan menuliskan namanya di papan tulis. Entah mengapa kemudian terjadi rebutan dan kawan-kawan maju merangsek bersama ke depan kelas. Wali kelas saat itu marah dan meminta kawan-kawan duduk kembali ke kursi masing-masing. Aku saat itu duduk dan belum ingin maju ke depan. Aku tidak mendengar dan memperhatikan saat beliau marah dan melarang kami maju ke depan. Pikirku, inilah saat giliranku. Tepat di depan beliau aku berjalan menunduk sambil mengucapkan nyuwun sewu. Tiba-tiba plaakk!! Pipiku ditampar oleh beliau. Kelas seketika hening. Perasaanku kaget, bingung, takut, dan menyesal. Aku tidak menangis tapi malu. Reputasiku sebagai murid baik seketika luluh lantak. Aku pulang ke rumah dan tidak berani menceritakan peristiwa pahit itu ke orang tuaku karena aku malu. Selain kelas 1 B, almarhum Pak Hajar diberitahu Arofah, kawanku di kelas 1 B.  Setahun kemudian wali kelasku di I B, pindah tempat tugas. Pak Hajar almarhum, Pembina OSIS saat itu, memintaku untuk menyampaikan salam perpisahan atas nama kawan-kawan. Aku kaget karena tidak diberitahu sebelumnya. Seketika pikiranku melayang ke peristiwa 1 tahun lalu, peristiwa pahit yang tak terlupakan. Aku menduga Pak Hajar almarhum menginginkan aku menyampaikan permintaan maafku kepada wali kelasku di 1 B. Aku terguguk, lidahku tak bergerak. Tak sanggup aku bicara. Ingin rasanya aku meminta maaf, tapi mulutku serasa terkunci. Itulah awalku berbicara di depan orang banyak. Pak Hajar almarhum mencoba mengajariku dengan menuntun sedikit demi sedikit pidato yang harus kusampaikan. Mulai dari ucapan terimakasih atas jasa wali kelasku di 1 B hingga permintaan maaf atas kesalahan kami (terutama aku). Tetap bungkam mulutku sampai akhirnya, aku dipersilakan duduk kembali. Peristiwa yang sungguh membekas di hatiku. Aku tidak marah kepada guruku tapi aku memang yang salah karena tidak memperhatikan instruksi beliau. Mulai dari saat itu aku mulai lebih memperhatikan setiap ucapan guru. Niatku jangan sampai guruku marah kepadaku lagi. Dan karena aku gagal berbicara di depan kawan-kawan maka aku mulai berlatih berbicara dengan baik. Tahukah kawan bahwa saat mencuci aku bicara sendiri. Saat di wc aku berbicara sendiri. Saat mandi aku berbicara sendiri. Hingga terdengar teriakan dari Ibuku almarhum, “Mujiiiibbbbb….. ora elok ngomong dewe nang kolah.” Aku diam sambil byuurrr. Ku lanjutkan mandiku.

INSYA ALLAH BERSAMBUNG…

Keterangan: ora elok ngomong dewe nang kolah artinya tidak baik berbicara sendiri di kamar mandi.

Tidak ada komentar: