Laman

Rabu, 10 Agustus 2011

SEJUMPUT PEMBAHASAN TENTANG PACARAN


Sumber:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhAWRvPFtnoPSX3bb7knuqHX_ywRAXFGcw9PjP-_6VAPXS-ZXk5c7ySxECU4TS7HxOFcrFeWJL6NQIUREktBQcIMcC6tifxD6qKwMEdam9HeYT8678TfQu1HYB1ekk14wqrkcvtsCBFSrE/s220-h/205613_200811413286050_100000715790335_585138_7702108_n.jpg

Islam tidak mengenal istilah pacaran. Agama ini hanya memperbolehkan ta’aruf (mengenal) antar lawan jenis dengan aturan-aturan yang harus ditaati. Persoalannya terletak pada praktik pergaulan remaja/peserta didik zaman kini yang semakin jauh meninggalkan norma agama. Ditambah dengan faktor pendidik yang masih kalah gaya dalam menyampaikan nilai-nilai edukatif karena faktor hegemoni (serangan sporadis dan bersifat masif) budaya barat yang –meminjam istilahnya Gus Mus– menjadi guru tiap warga Indonesia.

Pacaran ada karena ada daya tarik lawan jenis yang merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya. Ibarat senjata, manusia yang dibekali oleh Allah berupa potensi baik dan buruk, penggunaannya tergantung dari menang kalahnya kedua potensi itu. Kalau potensi baik menang, hasilnya adalah ketakwaan. Namun bila potensi buruk yang menang, maka tidakan tercela yang akan dilakukan.

Setiap perilaku insan selalu melibatkan nafsu yang menurut al-Qur’an cenderung mengajak kepada keburukan dan kejahatan. Kemudian upaya manusia untuk menuju surga yang pasti didamba haruslah dibekali dengan keimanan dan ketakwaan. Dengan demikian nafsu harus dibatasi geraknya oleh iman dan takwa ketika mengajak kepada tindakan tercela. Perjuangan untuk memenangkan kebaikan atas keburukan pada tiap manusia berlangsung dari baligh (dewasa menurut aturan agama) hingga meninggal.

Kemudian dalam konteks pacaran, terserap nilai kebinatangan yang menuntut pemuasan biologis individu. Sedangkan agama mengatur secara tegas tentang pernikahan yang merupakan satu-satunya cara menyalurkan kebutuhan dasar manusia itu. KH. Muchith Muzadi menegaskan, pernikahan adalah satu-satunya cara untuk menghalalkan tindakan yang paling diharamkan agama sebelum akad nikah yaitu hubungan seksual. Zina (hubungan seks sebelum menikah atau hubungan seks sesudah menikah tetapi dengan pasangan selingkuh) apapun alasannya sangat diharamkan oleh seluruh agama. Zina merupakan tindakan yang sebagaimana sering kita lihat dan dengar di pemberitaan media massa, dapat menimbulkan efek psikologis dan kriminal bagi pelakunya. Sebagian pelakunya adalah remaja (baca: peserta didik SMP dan SMA atau yang sederajat) yang masih bau kencur. Dari perbuatan nista itu yang sering menjadi korban adalah pihak perempuan. Mulai dari putus sekolah, bunuh diri, terjangkit penyakit kelamin, dan perasaan berdosa yang berlebihan. Masalah moral lainnya berupa maraknya kasus pembuangan bayi di tong-tong sampah atau kebun, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal, serta bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS positif di kalangan remaja yang hingga saat ini belum ada obatnya dan berakibat kematian. Secara biologis memang mereka mulai matang, namun sayangnya mereka harus menunda untuk melakukan hubungan biologis sebelum menikah. Hal ini menjadi persoalan yang sangat berat bagi remaja zaman sekarang ketika budaya barat justru lebih banyak menampilkan perilaku zina. Mulai dari film dan sinetron yang menampilkan adegan berpacaran, aktris yang memamerkan hamil di luar nikah, serta perilaku yang mengarah kepada perzinaan. Ditambah dengan tayangan-tayangan porno yang mudah diakses oleh remaja mulai dari VCD/DVD, telepon genggam, majalah, hingga tabloid. Efeknya berupa perilaku remaja yang ingin mencoba-coba karena begitu derasnya informasi yang masuk dan tidak terkontrol. Sedangkan di pihak lain benteng keimanan lewat media pendidikan justru mengalami ketabuan. Tabu/tidak pantas disampaikan kepada remaja dengan alasan belum saatnya. Orang tua dan guru di sekolah formal menurut asumsi saya, masih kurang menginformasikan pelajaran pergaulan lawan jenis yang benar kepada remaja.

Dari informasi itu dapat dimunculkan dua alternatif solusi berupa, pertama, orang tua sebagai pendidik utama dan pertama berperan besar dalam mendidik, menginformasikan pengetahuan hubungan lawan jenis, mengawasi, mengontrol, pergaulan anak-anaknya. Kendala utama dari solusi ini adalah kebanyakan orang tua beranggapan bahwa pendidikan tentang ini sudah dilaksanakan oleh sekolah., madrasah, TPQ, dan lembaga formal, informal, dan non formal lainnya. Sehingga diperlukan penyadaran kepada orang tua tentang hal ini oleh pemerintah terkecil hingga terbesar (ketua RT hingga presiden). Dengan kata lain, diperlukan adanya revitalisasi peran keluarga dalam pelaksanaan pendidikan seks kepada putra-putrinya.

Kedua, diperlukan pola pendidikan seks terstruktur dengan kurikulum yang jelas di lembaga formal. Selama ini pendidikan seks sebatas dibahas di pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Itupun hanya mengenai anatomi tubuh dan belum membahas inti pergaulan (batasan-batasan, efek negatif hubungan bebas, serta nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam pergaulan).

Untuk materi Bimbingan dan Konseling (BK) sebenarnya lebih lengkap dan memadai tentang materi seksualitas beserta etikanya. Namun sayangnya kegiatan BK terkadang berjalan tidak efektif.

Selama ini terdapat anggapan bahwa pendidikan seks ini tidak diperlukan karena di samping tabu, juga para remaja ketika sudah dewasa kelak pasti mengetahuinya. Padahal perilaku pacaran oleh remaja akibat pengaruh budaya global cenderung mengarah kepada perzinaan. Begitu bebasnya pergaulan sehingga budaya permisif (serba boleh) menjadi keniscayaan.

Dari dua alternatif solusi di atas paling tidak diharapkan dapat mengurangi bahaya perzinaan selama masa pacaran di kalangan remaja/peserta didik. Namun sebaik apapun pemecahan masalah ini bila tidak didukung dan dilaksanakan oleh semua elemen masyarakat, pasti menjadi wacana semata. Wallahua’lam dan wassalam.

Sumber:
  • KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Fikih Keseharian Gus Mus. Editor: Achmad Ma’ruf Asrori. Surabaya: Khalista bekerjasama dengan Komunitas Mata Air. 2005.
  • KH. Abdul Muchit Muzadi. Risalah Fikih Wanita (Fiqhun-Nisa). Bandung: PT. Al Ma’arif. 1979.
  • Dan dari berbagai sumber lainnya.

Tidak ada komentar: