Laman

Sabtu, 09 Juli 2011

IMAN ITU BERTAMBAH DAN BERKURANG (YAZIID WA YANQUUSH / UP AND DOWN)

Dari kiri ke kanan: Titiek Suswanti, S. Pd., Selamet Rinasih, S. Pd.,
Yati Arofatun, S. Pd, Dewi Sartika, S. Pd., Setyowati, S. Pd., dan
Ruky Pramelahesti, S. Pd.
(Ibu-ibu Guru SMP 2 Wonokerto berpose saat Perpisahan
kelas IX tahun pelajaran 2010 / 2011.
Sumber: http://www.facebook.com/fela.sitmbem
atau http://www.facebook.com/photo.php?fbid=187107791347609&set=
at.112499835475072.15411.
100001451689725.1669299435&type=1&theater
  

Tidak hanya uang, iman pun bisa bertambah (arab: yaziid) dan berkurang (arab: yanqush). Pendapat itu disampaikan oleh al-Imam al-Ghazali, tokoh aqidah Islam terkenal.

Iman secara bahasa berarti percaya atau yakin. Iman tidak bisa diwariskan oleh orang tua yang bertakwa sekalipun. Kemudian, rukun iman ada 6; Allah SWT., malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitabnya-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar-Nya.

Mayoritas umat Islam sangat mudah percaya rukun iman. Namun sedikit yang betul-betul yakin/haqqul yaqiin terhadap rukun iman secara benar. Maksudnya, mereka hafal rukun iman tapi hanya diucapkan, belum ke hati apalagi taraf praktik tanpa niat pamer.

Iman memang di hati. Hanya Allah yang mengetahuinya. Untuk membuktikannya cukup melihat aspek perilaku sehari-hari. Dengan demikian, iman itu diyakini di hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Dalam hal ini banyak yang berhasil mengucapkan (baca: menghafal) rukun iman dan melakukan ibadah ritual. Namun seringkali gagal ke taraf hati. Berhenti di tingkat ucapan dan perbuatan. Kalaupun iman berhasil ke hati, itupun sebatas yakin tetapi tidak seyakin-yakinnya. Kita berlindung kepada Allah SWT. dari perbuatan demikian.

Dalam al-Qur’an, keimanan terkait dengan perbuatan baik (baca: amal shalih). Tingkat keimanan muslim/muslimah sebanding dengan tingkat ketakwaannya. Seringkali takwa diartikan dengan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. dan menjauhi larangan-larangan-Nya (baca: imtitsaalul awaamiri wajtinaabun nawaahii).

Kita sering mengalami saat-saat tertentu begitu giat begitu giat beribadah ritual dan sosial. Namun di saat lain mengalami kelesuan (futur). Inilah yang dinamakan bertambahnya iman (yaziid) dengan giat beribadah, dan berkurangnya iman (yanquush) dengan malas beribadah.

Nabi Muhammad, SAW. telah menetapkan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, merupakan perintah bagi muslim dan muslimah untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Bahkan wasiat takwa menjadi rukun khutbah shalat Jum’at, ‘Idul Fitri, ‘Idul Adhha, dan gerhana (bulan atau matahari). Diharapkan para jama’ah selalu diingatkan untuk terus memperbaiki ibadahnya.

Kenyataannya, sebagian umat Islam gagal dalam memacu ketakwaannya. Seringkali mereka terperosok ke dalam perbuatan dosa dan terus berulang. Niat untuk berhenti sebenarnya sudah ditetapkan. Namun tetap saja perbuatan jelek dilakukan. Peristiwa berkurangnya iman ini disebabkan oleh nafsu dan terbujuk rayu setan. Nafsu madzmuumah (jelek) yang dibela setan berhasil mengalahkan nafsu mahmuudah (baik).

Ketidak stabilan ini menyebabkan sebagian orang Islam enggan me-refresh (memperbaharui) taubatnya. Mereka berpikir apa gunanya istighfar berkali-kali tetapi tetap saja mengulangi perbuatan dosa.

Pemikiran tersebut dapat membelenggu orang untuk bertaubat. Ada perasaan banyak dosa atau dosa menggunung yang tak terampuni. Pemikiran ini harus dicerahkan dengan cara; pahami konsep istithaa’ah (sesuai kemampuan).

Istithaa’ah berdasarkan keunikan pribadi tiap muslim yang dari segi ketakwaan berbeda-beda. Dengan demikian, tidak adil kiranya bila preman insyaf disejajarkan dengan kiai. Islam saja membedakan antara muallaf ( orang yang baru masuk Islam dan salah satu mustahiq atau penerima zakat) dengan orang Islam hasil didikan orang tuanya yang sebagian menjadi muzakki (pembayar zakat).

Penawaran konsep istithaa’ah paling tepat ditujukan kepada orang awam yang minim pemahaman keagamaannya. Manfaatnya paling tidak, orang awam yang banyak dosanya, tidak perlulah ditakuti dengan pelajaran menyeramkan tentang pedihnya siksa neraka. Tapi cobalah untuk menawarkan pelajaran; dosa sebesar apapun dapat diampuni oleh Allah SWT. kecuali menduakan-Nya (syirik). Allah SWT. itu Maha Pengampun, Penyayang, akan diterima taubat hamba-Nya yang bersungguh-sungguh bertaubat dan seterusnya. Itulah yang mesti digembar-gemborkan kepada orang awam pendosa.

Kalau boleh usul kepada khatib shalat Jum’at seyogyanya tidak terlalu sering menggunakan kalimat ittaqullaaha haqqa tuqaatih (bertakwalah kamu dengan sebenar-benar takwa). Bertakwa dengan sungguh-sungguh berupa menjalankan perintah Allah SWT. dan menjauhi segala larangan-Nya. Apa sanggup kita? Penulis pun ragu kalau sebagian khatib mampu menjadi haqqa tuqaatih. Alangkah bijak bila khatib shalat Jum’at sering-sering menggunakan wasiat takwa dengan ittaqullaaha mastatha’tum (bertakwalah kamu sesuai kadar kemampuan). Kalimat terakhirlah yang lebih cocok dan tepat untuk semua.

Istithaa’ah di sini bukan berarti harus menghentikan kegiatan berlomba-lomba dalam meraih derajat tertinggi di sisi Allah SWT yaitu paling bertakwa. Sama sekali bukan. Wacana ini sekadar membantu kalangan umum yang maaf, masih jauh dari Allah SWT. supaya terus bertakwa dan bertaubat sesuai tingkat keunikan dirinya yang masih di level “menengah ke bawah” di sisi Allah SWT. Only that!

Demikian pula kepada para penceramah, lebih elok bila sering-sering “membumi” dalam dakwahnya. Kondisi riil masyarakat perlu diperhatikan sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: “Berbicaralah Anda sesuai tingkat intelektualitas (pemahaman) tiap pendengar Anda.” (al-Hadis). Untuk lebih konkritnya dapat merujuk kepada metode dakwah fiqh sosialnya Dr. KH. M. Sahal Mahfudh yang mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan memberdayakan warga sekitar kediaman beliau dan menjadikan fiqh klasik yang membumi serta shahiihul likulli zamaan wa makaan (cocok untuk kondisi terkini dan setempat) sebagai landasan ilmiahnya.

Wallahu a’lam.

#dari berbagai sumber#

Tidak ada komentar: